Minggu, 25 Desember 2016

Bukan Dia, tapi Kamu

Namaku Ariani, seorang pimpinan redaksi majalah terbaik di kotaku. Aku adalah anak perantau yang tinggal jauh dari kedua orang tua. Sudah dua tahun aku berada di kota pahlawan ini. Tinggal bersama ‘Mamade’ yang sudah ku anggap sebagai mama keduaku. Mamade adalah kakak dari mamaku.
“ Mamade, berangkat dulu ya, Assalamualaikum.” ucapku sembari memasukkan roti panggang ke kotak makanku. Sudah lama aku tak bisa sarapan di rumah, itu semua karena pekerjaanku yang sedikit menyita waktu. Bisa kalian bayangkan betapa sibuknya diriku sampai tak sempat makan bersama Mamade. Sebenarnya, di umurku yang hampir berkepala tiga, sudah seharusnya aku berkeluarga. Namun…
***
Hari ini kegiatanku adalah memimpin rapat untuk majalah yang akan terbit satu minggu lagi, tapi tunggu. Sepertinya telepon genggamku bergetar.
“ Ariani, aku butuh kamu sekarang….”
Tak sempat kuucapkan salam, suara dari seberang sana sudah mendahului berbicara.
“Mas Dani? Ada apa?” tapi tiba-tiba saja telepon genggamku mati. Ah, aku harus apa kalau sudah seperti ini. Sepertinya aku lupa tidak mengisi baterai hapeku semalam. Tapi suara di seberang sana sepertinya membutuhkan aku. Akhirnya aku  berbalik arah menuju rumah sakit tempat sang penelepon bekerja. Rumah sakit yang selama ini tak ingin ku-kunjungi karena sesuatu hal.
Ah, rumah sakit ini. Aku berhenti di depan pintu masuk, tak ingin rasanya masuk ke dalam. Tapi, ada seseorang yang sedang mencariku. Seseorang yang…
 “ Permisi, apakah Anda Ibu Ariani?” Seorang suster bertanya kepadaku.
 “ Oh iya benar, saya Ariani, ada apa ya Sus?”
“ Anda ditunggu Dokter Dani di UGD, silahkan mengikuti saya!”
Jantungku berdegup kencang mendengar kata yang diucapkan suster itu. Phobiaku sepertinya akan muncul sebentar lagi. Tapi aku tak peduli, aku berlari menuju ruang yang sama-sekali tak ingin ku kunjungi.
“Ari..aa..ni…” suara lemah itu mencoba menyebutkan namaku.
 “ Iya ini aku Ariani, kok bisa kayak gini? Kamu kenapa? Apa yang terjadi? ” ucapku sembari menahan air mata.
“Pegang tanganku….” ucapnya terbata-bata.
“Sudah, sudah kupegang. Tapi jawab dulu, kamu kenapa? ” aku tak sabar mendengar jawaban darinya.
Saat ini aku melihat lelaki berpakaian dokter sedang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit dengan darah yang bercucuran dari perutnya. Wajahnya pucat pasi, tangannya tidak kuat menggenggam, matanya sedikit berair. Sebenarnya apa yang terjadi padanya?
 “ Ibu Ariani, bisa ikut saya sebentar?” Tanya seorang dokter lain. Aku mengikutinya dengan berat hati, dan aku tetap menatap lelaki yang sedang berbaring itu.
“Dokter Dani harus segera dioperasi, tapi bank darah sedang kekurangan golongan darah A yang cocok dengan dokter….”
“Ambil darah saya saja dok, saya golongan darah A yang cocok dengan dokter Dani.” Belum selesai ucapan dokter itu, aku sudah menyela dengan ucapan yang sok tahu. Tapi memang benar, darahku dan darahnya cocok, kami sudah pernah melakukan tes darah.
***
Aku menunggu di depan ruang operasi, berharap semoga operasi berjalan lancar. Sambil menunggu, kusempatkan mengisi baterai telepon genggamku, dan menghidupkannya. Terdapat 5 pesan dan 10 panggilan tidak terjawab dari bawahanku. Aku lupa, hari ini seharusnya aku memimpin rapat. “Halo Ndri, maaf ya hari ini rapatnya ditunda dulu, ada emergency nih” Kelebihan menjadi pimred, bisa seenaknya sendiri menunda rapat.
***
Dua jam telah berlalu, akhirnya seorang dokter memberitahukan bahwa operasi berjalan lancar. Aku memutuskan untuk pulang tanpa melihat keadaan lelaki itu setelah dioperasi. Meskipun sebenarnya aku penasaran akan peristiwa yang menimpanya. Dan mengapa pula aku membatalkan rapat demi menemani dia?
***
Hari minggu adalah jadwalku untuk pulang ke kampung halamanku, mengunjungi kedua orangtua dan adik kecilku. Tak ada yang lebih nyaman selain tempat tidur yang usang ini. Aroma bantal dan boneka yang selalu kurindukan ketika tidur di rumah Mamade.
“Ni ayo bangun, sudah Mama siapkan sarapan kesukaanmu tuh” Indah sekali jika berada di sini, makanan dan segala hal yang kusenangi selalu disiapkan. Rasanya aku ingin sekali memindahkan kantor di sebelah rumahku. Supaya aku selalu berdekatan dengan keluargaku
“ Gimana pekerjaanmu? Menyenangkan?” seperti biasa, selalu dua pertanyaan itu yang ditanyakan.
“ Menyenangkan kok Pa, udah 5 majalah yang masuk trending topic di kota” jawabku. “Alhamdulillah deh, papa ikut seneng, oh iya mau Kapan Papa kenalin sama anaknya temen papa? Udah lama lo temen papa nanyain kamu tentang perjodohan kalian”.
Tolong, aku ingin ke Mamade sekarang, teriakku dalam hati.
***
Sebenarnya aku sudah mengiyakan anjuran papaku untuk dijodohkan dengan anak dari temannya. Tapi itu semua kulakukan hanya untuk menyenangkan hati kedua orangtuaku. Dulu aku pernah menolak keinginan mereka untuk menjadi seorang akuntan, kali ini aku tak ingin menolaknya lagi. Phobiaku juga berawal dari menolak keinginan mereka.  Waktu itu aku memaksa pergi ke Surabaya bersama calon suamiku dengan mobil  dan ternyata kendaraan kami mengalami kecelakaan di daerah sekitar tol. Dan saat itu, calon suamiku meninggal ketika berada di UGD rumah sakit. Sejak saat itu aku benci melihat rumah sakit. Bahkan ketika mendengar suara sirine ambulans, aku cepat-cepat menutup telinga.
Tapi kali ini, hatiku jatuh pada orang yang selalu bekerja di tempat yang kubenci. Dokter Dani namanya. Dia seorang dokter yang bisa dibilang tampan. Wajahnya yang putih bersih ditambah kacamata ber-frame hitam semakin membuatnya mempesona. Dia pribadi yang mudah dekat dengan siapa saja. Aku mengenalnya ketika aku sering mengantar papaku untuk melakukan check-up. Dani adalah dokter pengganti yang merawat papaku. Dokter yang biasanya merawat papaku, berpindah tugas ke Jakarta, alhasil Dani-lah yang menggantikannya. Awalnya aku tidak suka mengantar papaku, tapi semenjak aku mengenal Dani, rasanya ingin setiap hari aku mengantar papaku untuk check up. Namun, aku tak ingin menceritakan ini kepada orang tuaku, karena aku sudah menyetujui untuk dijodohkan dengan pria pilihan papaku.
***
“Ayo makan dulu, nanti nggak aku jenguk lagi lo!” kataku sambil memberikan sesuap nasi kepada lelaki itu.
“Aku lagi nggak enak makan Ariani.” ucapnya dengan nada sebal.
“Yaudah aku pulang nih.” Aku berdiri dan dia memegang tanganku.
 “Aku butuh kamu Ni.”  Akhirnya aku kembali duduk dan melepas tangannya.
“Yaudah makanya makan biar cepet sembuh Dan, masa dokter sakit sih”
Lelaki ini sudah kuanggap seperti sahabatku sendiri. Meskipun sebenarnya aku memiliki rasa yang lebih daripada itu.Tapi aku tak bisa menolak janjiku pada orangtuaku untuk dijodohkan. Seandainya kamu tahu Dan, mungkin kamu bisa ngerti kenapa aku nggak bisa nerima kamu. “Ni, kamu beneran mau dijodohin? Kayak Siti Nurbaya aja” ucapnya sambil membuka buku bacaan.
“ Semua pilihan orangtua kayaknya pilihan Allah juga deh Dan, aku ikhlas kok siapa aja nanti yang jadi suamiku”. Entah kenapa aku menjawabnya dengan mantap dan ikhlas.
“ Oh iya Dan, kemarin aku beli novel baru nih, bagus banget. Kamu wajib baca”
Kami memiliki hobi yang sama, senang membaca semua buku. Sepertinya kami saling tahu buku apa yang baru terbit.
“ Wah gila tebel banget! Pinjem ya “.
“ Iya emang aku bawain buat kamu kok, eh Dan, kamu sakit sampai kayak gini kenapa si? Dijahatin orang ya?” Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutku.
“ Tadi ada perampok Ni, terus aku berusaha ngelawan, eh gataunya aku ketusuk….”
Aku hanya memandangnya lekat-lekat ketika dia bercerita,dalam hati kecilku berujar  betapa indah makhluk ciptaan Tuhan ini. Sampai aku tak sadar, kalau lagu All I Ask dari Adelle tiba-tiba terdengar.
“ Ni hapemu tuh bunyi”
“ Eh iya bentar ya kayaknya dari Andri “
Benar, ternyata dari bawahanku Andri. Aku lupa hari ini jadwalku rapat dengan direktur.
“ Dan, aku ke kantor dulu ya, aku ada rapat sama direktur penerbit nih. Assalamualaikum”
“ Tapi Ni, aku takut nggak bisa ada…”
Aku bergegas meninggalkannya tanpa menghiraukan ucapan Dani yang sepertinya memintaku untuk tetap tinggal.
***
“ Iya Pa besok aja ketemunya sama temen Papa. Besok aku pulang kok bawa mobil sendiri. Iya, waalaikumsalam”
Klik. Telepon yang tidak kunantikan datang, besok aku harus pulang dan bertemu dengan calon suamiku. Sepertinya aku akan langsung dijodohkan. Ya Tuhan, aku ikhlas pada apapun yang telah Engkau rencanakan. Aku berusaha ikhlas tapi masih ada perasaan kecewa di dalam sana. Dani! Aku harus ketemu Dani sekarang!
Tidak ada jawaban dari telepon genggamnya, sudah 2 kali kutelpon dan mengirim pesan. Tapi tak ada jawaban. Di Rumah Sakit juga tidak ada. Sebenarnya kamu dimana sih Dan?
***
Hari ini aku sudah siap, semoga apa yang aku lakukan saat ini bisa membalas semua kesalahanku dimasa lalu. Semoga orang tuaku bisa bahagia dengan pilihanku saat ini. Aku menunggu dengan cemas di kamarku. Menanti teman dari papaku dan juga… yang akan menjadi calon suamiku. Siapa dia? Bagaimana cara dia memperlakukan aku? Kerja apa dia? Ratusan pertanyaan sudah mulai beterbangan di benakku.
Tin..Tin..
Pasti itu. Pasti itu bunyi klakson dari tamu yang ditunggu-tunggu. Aku segera memakai jilbab dan sedikit memakai bedak. Agar tak kelihatan betapa sedihnya aku.
“Assalamualaikum, silahkan masuk” ujar papaku ketika tamu itu datang.
Aku penasaran, tapi aku juga tak ingin bertemu dengannya. Aku menunggu dipanggil oleh papaku untuk menuju ke ruang tamu. Tempat calon suamiku berada.
“Ni, sini nak, ini temen papa sudah datang” Teriak papaku.
Astaga. Aku sudah di panggil, saatnya aku keluar dan melihat siapa dia. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Dan akhirnya aku melihat dia. Sosok lelaki berkacamata dengan peci diatas kepalanya. Dia tersenyum kearahku, sepertinya aku pernah melihat wajah yang seperti ini. Mengapa dia….. mirip sekali dengan Dani?



“ Assalamualaikum, Namaku Dana. Mungkin kamu kenal dengan kembaranku Dani” ucapnya ketika bersalaman denganku.
Kembaran? Apa aku tak salah dengar? Sejak kapan Dani memiliki kembaran? Terus Dani kemana? Kenapa bukan Dani yang datang? Aku menatapnya dengan raut wajah yang bingung.
“ Nak, ini kembaran dokter Dani yang dulu merawat papa, tapi sekarang dia bekerja di Jakarta. Dia mirip sekali dengan Dani ya?” sepertinya papaku mengerti apa yang kutanyakan
“Terus Dani…kemana?” ujarku pelan
“ Mas Dani….udah pergi”
Ternyata, waktu aku pergi meninggalkan dia, itulah saat terakhir aku melihatnya. Dani, seandainya itu kamu, bukan Dia.


 

Safira Nurdianah Ramadhani Template by Ipietoon Cute Blog Design