Namaku Ariani, seorang pimpinan redaksi majalah
terbaik di kotaku. Aku adalah anak perantau yang tinggal jauh dari kedua orang
tua. Sudah dua tahun aku berada di kota pahlawan ini. Tinggal bersama ‘Mamade’
yang sudah ku anggap sebagai mama keduaku. Mamade adalah kakak dari mamaku.
“ Mamade, berangkat dulu ya, Assalamualaikum.”
ucapku sembari memasukkan roti panggang ke kotak makanku. Sudah lama aku tak
bisa sarapan di rumah, itu semua karena pekerjaanku yang sedikit menyita waktu.
Bisa kalian bayangkan betapa sibuknya diriku sampai tak sempat makan bersama
Mamade. Sebenarnya, di umurku yang hampir berkepala tiga, sudah seharusnya aku
berkeluarga. Namun…
***
Hari ini kegiatanku adalah memimpin rapat untuk
majalah yang akan terbit satu minggu lagi, tapi tunggu. Sepertinya telepon
genggamku bergetar.
“ Ariani, aku butuh kamu sekarang….”
Tak sempat kuucapkan salam, suara dari seberang sana
sudah mendahului berbicara.
“Mas Dani? Ada apa?” tapi tiba-tiba saja telepon
genggamku mati. Ah, aku harus apa kalau sudah seperti ini. Sepertinya aku lupa
tidak mengisi baterai hapeku semalam. Tapi suara di seberang sana sepertinya
membutuhkan aku. Akhirnya aku berbalik
arah menuju rumah sakit tempat sang penelepon bekerja. Rumah sakit yang selama
ini tak ingin ku-kunjungi karena sesuatu hal.
Ah, rumah sakit ini. Aku berhenti di depan pintu
masuk, tak ingin rasanya masuk ke dalam. Tapi, ada seseorang yang sedang
mencariku. Seseorang yang…
“ Permisi, apakah
Anda Ibu Ariani?” Seorang suster bertanya kepadaku.
“ Oh iya benar,
saya Ariani, ada apa ya Sus?”
“ Anda ditunggu Dokter Dani di UGD, silahkan
mengikuti saya!”
Jantungku berdegup kencang mendengar kata yang
diucapkan suster itu. Phobiaku
sepertinya akan muncul sebentar lagi. Tapi aku tak peduli, aku berlari menuju
ruang yang sama-sekali tak ingin ku kunjungi.
“Ari..aa..ni…” suara lemah itu mencoba menyebutkan
namaku.
“ Iya ini aku
Ariani, kok bisa kayak gini? Kamu kenapa? Apa yang terjadi? ” ucapku sembari
menahan air mata.
“Pegang tanganku….” ucapnya terbata-bata.
“Sudah, sudah kupegang. Tapi jawab dulu, kamu
kenapa? ” aku tak sabar mendengar jawaban darinya.
Saat ini aku melihat lelaki berpakaian dokter sedang
terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit dengan darah yang bercucuran dari perutnya.
Wajahnya pucat pasi, tangannya tidak kuat menggenggam, matanya sedikit berair.
Sebenarnya apa yang terjadi padanya?
“ Ibu Ariani,
bisa ikut saya sebentar?” Tanya seorang dokter lain. Aku mengikutinya dengan
berat hati, dan aku tetap menatap lelaki yang sedang berbaring itu.
“Dokter Dani harus segera dioperasi, tapi bank darah
sedang kekurangan golongan darah A yang cocok dengan dokter….”
“Ambil darah saya saja dok, saya golongan darah A
yang cocok dengan dokter Dani.” Belum selesai ucapan dokter itu, aku sudah
menyela dengan ucapan yang sok tahu.
Tapi memang benar, darahku dan darahnya cocok, kami sudah pernah melakukan tes
darah.
***
Aku menunggu di depan ruang operasi, berharap semoga
operasi berjalan lancar. Sambil menunggu, kusempatkan mengisi baterai telepon
genggamku, dan menghidupkannya. Terdapat 5 pesan dan 10 panggilan tidak
terjawab dari bawahanku. Aku lupa, hari ini seharusnya aku memimpin rapat. “Halo
Ndri, maaf ya hari ini rapatnya ditunda dulu, ada emergency nih” Kelebihan menjadi pimred, bisa seenaknya sendiri
menunda rapat.
***
Dua jam telah berlalu, akhirnya seorang dokter
memberitahukan bahwa operasi berjalan lancar. Aku memutuskan untuk pulang tanpa
melihat keadaan lelaki itu setelah dioperasi. Meskipun sebenarnya aku penasaran
akan peristiwa yang menimpanya. Dan mengapa pula aku membatalkan rapat demi
menemani dia?
***
Hari minggu adalah jadwalku untuk pulang ke kampung
halamanku, mengunjungi kedua orangtua dan adik kecilku. Tak ada yang lebih
nyaman selain tempat tidur yang usang ini. Aroma bantal dan boneka yang selalu
kurindukan ketika tidur di rumah Mamade.
“Ni ayo bangun, sudah Mama siapkan sarapan
kesukaanmu tuh” Indah sekali jika berada di sini, makanan dan segala hal yang
kusenangi selalu disiapkan. Rasanya aku ingin sekali memindahkan kantor di
sebelah rumahku. Supaya aku selalu berdekatan dengan keluargaku
“ Gimana pekerjaanmu? Menyenangkan?” seperti biasa,
selalu dua pertanyaan itu yang ditanyakan.
“ Menyenangkan kok Pa, udah 5 majalah yang masuk trending topic di kota” jawabku.
“Alhamdulillah deh, papa ikut seneng, oh iya mau Kapan Papa kenalin sama
anaknya temen papa? Udah lama lo temen papa nanyain kamu tentang perjodohan
kalian”.
Tolong, aku ingin ke Mamade sekarang, teriakku dalam
hati.
***
Sebenarnya aku sudah mengiyakan anjuran papaku untuk
dijodohkan dengan anak dari temannya. Tapi itu semua kulakukan hanya untuk
menyenangkan hati kedua orangtuaku. Dulu aku pernah menolak keinginan mereka
untuk menjadi seorang akuntan, kali ini aku tak ingin menolaknya lagi. Phobiaku juga berawal dari menolak
keinginan mereka. Waktu itu aku memaksa
pergi ke Surabaya bersama calon suamiku dengan mobil dan ternyata kendaraan kami mengalami
kecelakaan di daerah sekitar tol. Dan saat itu, calon suamiku meninggal ketika
berada di UGD rumah sakit. Sejak saat itu aku benci melihat rumah sakit. Bahkan
ketika mendengar suara sirine ambulans, aku cepat-cepat menutup telinga.
Tapi kali ini, hatiku jatuh pada orang yang selalu
bekerja di tempat yang kubenci. Dokter Dani namanya. Dia seorang dokter yang
bisa dibilang tampan. Wajahnya yang putih bersih ditambah kacamata ber-frame hitam semakin membuatnya
mempesona. Dia pribadi yang mudah dekat dengan siapa saja. Aku mengenalnya
ketika aku sering mengantar papaku untuk melakukan check-up. Dani adalah dokter pengganti yang merawat papaku. Dokter
yang biasanya merawat papaku, berpindah tugas ke Jakarta, alhasil Dani-lah yang
menggantikannya. Awalnya aku tidak suka mengantar papaku, tapi semenjak aku
mengenal Dani, rasanya ingin setiap hari aku mengantar papaku untuk check up. Namun, aku tak ingin menceritakan
ini kepada orang tuaku, karena aku sudah menyetujui untuk dijodohkan dengan
pria pilihan papaku.
***
“Ayo makan dulu, nanti nggak aku jenguk lagi lo!”
kataku sambil memberikan sesuap nasi kepada lelaki itu.
“Aku lagi nggak enak makan Ariani.” ucapnya dengan
nada sebal.
“Yaudah aku pulang nih.” Aku berdiri dan dia
memegang tanganku.
“Aku butuh
kamu Ni.” Akhirnya aku kembali duduk dan
melepas tangannya.
“Yaudah makanya makan biar cepet sembuh Dan, masa
dokter sakit sih”
Lelaki ini sudah kuanggap seperti sahabatku sendiri.
Meskipun sebenarnya aku memiliki rasa yang lebih daripada itu.Tapi aku tak bisa
menolak janjiku pada orangtuaku untuk dijodohkan. Seandainya kamu tahu Dan, mungkin kamu bisa ngerti kenapa aku nggak
bisa nerima kamu. “Ni, kamu beneran mau dijodohin? Kayak Siti Nurbaya aja”
ucapnya sambil membuka buku bacaan.
“ Semua pilihan orangtua kayaknya pilihan Allah juga
deh Dan, aku ikhlas kok siapa aja nanti yang jadi suamiku”. Entah kenapa aku
menjawabnya dengan mantap dan ikhlas.
“ Oh iya Dan, kemarin aku beli novel baru nih, bagus
banget. Kamu wajib baca”
Kami memiliki hobi yang sama, senang membaca semua
buku. Sepertinya kami saling tahu buku apa yang baru terbit.
“ Wah gila tebel banget! Pinjem ya “.
“ Iya emang aku bawain buat kamu kok, eh Dan, kamu
sakit sampai kayak gini kenapa si? Dijahatin orang ya?” Akhirnya pertanyaan itu
keluar dari mulutku.
“ Tadi ada perampok Ni, terus aku berusaha ngelawan,
eh gataunya aku ketusuk….”
Aku hanya memandangnya lekat-lekat ketika dia
bercerita,dalam hati kecilku berujar betapa
indah makhluk ciptaan Tuhan ini. Sampai aku tak sadar, kalau lagu All I Ask
dari Adelle tiba-tiba terdengar.
“ Ni hapemu tuh bunyi”
“ Eh iya bentar ya kayaknya dari Andri “
Benar, ternyata dari bawahanku Andri. Aku lupa hari
ini jadwalku rapat dengan direktur.
“ Dan, aku ke kantor dulu ya, aku ada rapat sama
direktur penerbit nih. Assalamualaikum”
“ Tapi Ni, aku takut nggak bisa ada…”
Aku bergegas meninggalkannya tanpa menghiraukan
ucapan Dani yang sepertinya memintaku untuk tetap tinggal.
***
“ Iya Pa besok aja ketemunya sama temen Papa. Besok
aku pulang kok bawa mobil sendiri. Iya, waalaikumsalam”
Klik. Telepon yang tidak kunantikan datang, besok
aku harus pulang dan bertemu dengan calon suamiku. Sepertinya aku akan langsung
dijodohkan. Ya Tuhan, aku ikhlas pada apapun yang telah Engkau rencanakan. Aku
berusaha ikhlas tapi masih ada perasaan kecewa di dalam sana. Dani! Aku harus
ketemu Dani sekarang!
Tidak ada jawaban dari telepon genggamnya, sudah 2
kali kutelpon dan mengirim pesan. Tapi tak ada jawaban. Di Rumah Sakit juga
tidak ada. Sebenarnya kamu dimana sih Dan?
***
Hari ini aku sudah siap, semoga apa yang aku lakukan
saat ini bisa membalas semua kesalahanku dimasa lalu. Semoga orang tuaku bisa
bahagia dengan pilihanku saat ini. Aku menunggu dengan cemas di kamarku.
Menanti teman dari papaku dan juga… yang akan menjadi calon suamiku. Siapa dia?
Bagaimana cara dia memperlakukan aku? Kerja apa dia? Ratusan pertanyaan sudah
mulai beterbangan di benakku.
Tin..Tin..
Pasti itu. Pasti itu bunyi klakson dari tamu yang
ditunggu-tunggu. Aku segera memakai jilbab dan sedikit memakai bedak. Agar tak
kelihatan betapa sedihnya aku.
“Assalamualaikum, silahkan masuk” ujar papaku ketika
tamu itu datang.
Aku penasaran, tapi aku juga tak ingin bertemu
dengannya. Aku menunggu dipanggil oleh papaku untuk menuju ke ruang tamu.
Tempat calon suamiku berada.
“Ni, sini nak, ini temen papa sudah datang” Teriak
papaku.
Astaga. Aku sudah di panggil, saatnya aku keluar dan
melihat siapa dia. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Dan akhirnya aku
melihat dia. Sosok lelaki berkacamata dengan peci diatas kepalanya. Dia
tersenyum kearahku, sepertinya aku pernah melihat wajah yang seperti ini.
Mengapa dia….. mirip sekali dengan Dani?
“ Assalamualaikum, Namaku Dana. Mungkin kamu kenal
dengan kembaranku Dani” ucapnya ketika bersalaman denganku.
Kembaran? Apa aku tak salah dengar? Sejak kapan Dani
memiliki kembaran? Terus Dani kemana? Kenapa bukan Dani yang datang? Aku
menatapnya dengan raut wajah yang bingung.
“ Nak, ini kembaran dokter Dani yang dulu merawat
papa, tapi sekarang dia bekerja di Jakarta. Dia mirip sekali dengan Dani ya?”
sepertinya papaku mengerti apa yang kutanyakan
“Terus Dani…kemana?” ujarku pelan
“ Mas Dani….udah pergi”
Ternyata, waktu aku pergi meninggalkan dia, itulah
saat terakhir aku melihatnya. Dani, seandainya itu kamu, bukan Dia.